Cerpen:
SERTIFIKAT TANAH DUA PERSIL
oleh : Ahmad Suyudi
SEPERTI biasanya kalau hati dan pikiranku sedang tidak bisa diajak bekerja, maka pasti kubawa diriku keluar untuk sekadar membuang kepenatan dan mencari penyegaran di luar kamar. Biasanya aku menuju ke warung Mang Sidik tak jauh dari perempatan jalan Majapahit. Di sana biasanya ada beberapa orang yang selalu begadang. Ada kernet dan sopir bus dan angkot. Ada Pak Sastro yang mantan pemain wayangng dan senang mengagungkan masa lalunya menjadi seniman wayang orang dan digemari banyak orang. Ada juga Pak Napih, nama aslinya yang kubaca di papan nama di dadanya adalah Hanafi, seorang Hansip pasar yang sering sekali bertemu denganku di warung itu. Atau yang sudah pasti adalah Mang Udin, orang ini selalu melek sampai pagi karena menunggu kios rokoknya di sebelah warung bubur kacang hijau Mang Sidik.
Di warung bubur itulah aku bisa membuang segala macam kepenatan yang menjadi penyumbat pikiran dan membuat semua gagasan tidak dapat mengalir dengan lancar. Hanya sayangnya, sering aku tak sadar tergelincir dalam kenikmatan ngobrol sana-sini, ngalor-ngidul tak keruan ujung pangkalnya dengan Pak Sastra atau Pak Napih, atau kadang dengan si Togar kondektur bus jurusan Pasar Minggu-Depok, atau kalau kebetulan mereka sedang absen atau tidak hadir, aku bisa ngobrol dengan Mang Sidik seorang. Jika larut dalam obrolan-obrolan yang tak keruan itu aku serinng terlupa pada tulisan-tulisan yang telah aku targetkan harus selesai paginya.
Malam ini sudah ada sekitar enam cerpen dan beberapa puisi yang mogok di tengah jalan, ada beberapa artikel yang mestinya kelar dalam beberapa hari ini untuk mengejar kalender event, biar jadi tulisan yang uptodate, tak mampu aku melanjutkannya. Tiga cerpen sudah hampir tiga minggu mandek tertahan di atas mejaku. Dan satu lagi yang kutargetkan harus selesai besok pagi juga mengalami nasib sama, tertunda entah sampai kapan aku nggak tahu.
Semua kepenatan itu ditambah-tambah ketika tadi siang aku menerima sepucuk surat dari Ayah. Ayah menghendaki agar aku, bisa nggak bisa harus segera pulang.
“Aku khawatir kalau sertifikat itu tidak segera diselesaikan. Kamulah yang banyak mengetahui bagaimana secepatnya surat itu harus segera sampai di tangan kita.” Begitulah kata-kata Ayah dalam surat yang dikirim dengan pos kilat khusus itu.
Memang sejak tiga bulan yang lalu ketika aku pulang ke desa, aku mendengar bahwaa sebagian dari tanah di desaku bakal terkena proyek perluasan obyek wisata di daerah itu. Sangat beralasan kalau Ayah memiliki kekhawatiran terhadap sertifikat yang telah hampir enam tahun tidak selesai itu. Entah surat itu kini masih tertahan di mana aku tidak tahu.
“Yang jelas Ayah sudah melunasi semua syarat, termasuk biayanya semua sudah beres. Tapi nyatanya hingga sekarang mana? Kalau aku tanyakan ke Pak Lurah, maka beliau hanya menjawab: Tanyakan saja kepada Pak Carik! Bukan urusan saya. Lha, bukannya dulu Pak Umar menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Carik… Dan kalau aku tanyakan kepada Pak Carik, apa jawabnya? … memang lama Pak Umar, memang lama… jangan kuatir-lah! Masih banyak yang lainnya yang juga belum selesai seperti punya Pak Umar. Hampir delapanpuluh persil jumlahnya yang sampe sekarang masih ada di sana, belum diterima oleh pemiliknya yang sah. Punya Pak Widayat, itu lho tetangga Pak Umar juga, malahan sudah hampir duabelas tahun, juga belum turun. Terus tanah wakaf yang sekarang didirikan masjid Nurul Iman itu juga belum rampung. Tenang saja! Nanti akan dipanggil, pasti, pasti saya panggil ke kantor balai desa kalau sudah turun. Masih diurus…”
Begitulah cerita Ayahku ketika mengeluhkan sertifikat dua persil tanahnya, yang hingga sekarang belum juga selesai. Ayah. Aku maklum, beliau banyak membaca dari koran yang sering dibawa pulang oleh kakakku dari sekolah tempat bekerja sebagai tukang kebon. Beliau ternyata banyak mengetahui bahwa di mana-mana sekarang seringkali terjadi penyerobotan hak atas tanah, di mana-mana sering terjadi penggusuran demi kepentingan umum. Ternyata Ayah sangat tajam dalam menganalisa berita-berita di koran.
“Kalau kita sudah memegang sertifikat, kan kita lebih tenang. Kita lebih mantap. Karena hanya itulah secara hukum yang dapat membuktikan bahwa kita memiliki tanah ini, dan tanah sawah itu.”
Aku juga bangga dan sedikit agak terkejut ketika Ayah punya pengetahuan seperti itu. Tapi aku juga maklum karena setidak-tidaknya Ayah seorang pensiunan guru yang begitu kecanduan dengan membaca. Termasuk membaca koran-koran itu.
“Memang, ya, memang para tetangga kita semua tahu bahwa kita punya tanah seluas tujuh ratus meter yang sekarang kita tempati ini, dan sebidang sawah yang tidak seberapa luas itu. Tapi apakah orang lain, maksud Ayah, para aparat yang suka jadi calo-calo itu tahu bahwa tanah ini benar-benar milik kita? Dan apakah para tetangga bakal sanggup dan bersedia memberi saksi bahwa ini semua milik kita? Sertifikat! Sertifikat, Pram, hanya selembar surat itu yang akan mampu menjadi bukti kuat atas hak kita…, Ah, zaman sekarang, kaya tidak tahu saja! Biarpun mereka semua tahu bertahun-tahun kita memiliki tanah ini, bisa saja mereka mengatakan tidak tahu-menahu, apalagi kalau mereka sudah kena gertak lebih dulu. Siapa orang sekarang mau bersusah payah menjadi saksi? Oh, kalau mereka bilang tidak tahu, lalu kita mau apa? Masih untung kalau kita dapat ganti dengan harga murah. Lha, kalau kita diusir?”
“Tapi kita kan punya surat bukti pembeliian tanah ini, Yah,” jawabku dengan maksud menenangkan hati Ayah.
“Sudah mati!” tukas Ayahku.
“Sudah mati? Apanya yang mati? Tanyaku, kaget.
“Sudah mati. Semua saksi yang tanda tangan di atas segel itu sudah masi semua. Nyonya Rusidah, bekas pemilik tanah ini sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Pak Kerto sebagai saksi juga sudah mati. Dan satu lagi saksinya, Pak Darmo, juga sudah mati. Ah, sudah, sudah. Yang penting kita harus segera memiliki sertifikat itu!”
“Iya, iya,” jawabku, “Pasti nanti akan saya uruskan. Tapi kan kita perlu waktu dan uang buat naik ke Dinas Agraria.”
“Ya, secepatnya.”
Memang, di dalam hati, aku pun jadi merasa khawatir tentang masalah ini. Lebih-lebih akhir-akhir ini sering aku dengar masalah-masalah tanah yang makin banyak menjadi berita koran-koran.
Aku menuang kopi ke piring kecil, lalu meniupnya.
“Eh, Dik Pram! Tumben sudah sampai duluan di sini.” Tiba-tiba terdengar suara Pak Sastro di depan warung memasuki warung Mang Sidik, “Ke mana saja, beberapa hari ini saya tidak melihat Dik Pram minum kopi seperti ini?” lanjutnya sambil menepuk pundakku.
“Ah, Pak Sastra saja yang tidak pernah kelihatan,” tukasku setelah menyerutup kopi di piring kecil.
“Lho, saya kemarinnya ke mari, semalam juga ke mari.”
“Kemarinnya Pak Sastro tidak datang. Wong saya hanya sendirian sama Mang Sidik mendengar ‘pengumuman’ di sini. Malah Mang Sidik tuh tembus kemarin. Tuh tanya aja kalau gak percaya!” jawabku sambil menoleh ke arah Mang Sidik yang kemarin nyaris terima uang hadiah judi buntut yang dipasangnya.
“Lho, lho…, iya toh? Mang Sidik tembus pasangannya? Wah, wah, wah, Mang Sidik ini diam-diam saja habis dapet rejeksi nomplok!”
Mang Sidik hanya tersenyum mendengar banyolanku kali ini.
“Berapa nomor Mang Sidik?” tanya Pak Sastro kemudian.
“Apa, wong angka depannya salah semua. Saya nyesel tidak pasangi buntutnya. Kalau saja saya pasangi buntutnya pasti, pasti kemarin saya dapet, Mas Sastro,” jawab Mang Sidik sambil memeras jeruk. Mang Sidik sudah tahu kalau Pak Sastro pasti memesan air jeruk hangat dan telur setengah matang.
“Makanya jangan nafsu. Begitulah kalau kalau pinginnya dapat gede terus!” Pak Sastro menyindir, “Kecil-kecil saja kalau rutin setiap malam Kemis, kan lumayan! Buat tambahan. Bukan begitu, Dik pram?”
Aku mengangguk, “Betul, tapi kan siapa tahu bisa tembus empat angka sekaligus. Mang Sidik kemarin pasang empat lembar empat angka semua, tidak dipasangi angka buntutnya. Coba kalau nembus, bisa tutup seminggu warung ini, pulang dia ke Kuningan, Pak Sastro.”
“Eh, Dik Pram, ngomong-ngomong, sudah selesai belum cerita yang kau ceritakan Bapak tempo hari?” Tiba-tiba Pak Sastro mengalihkan pembicaraan. Dia memang sering jadi pengulas dan pengkritik setiap cerita yang sedang aku garap. Darinyalah aku banyak memperoleh masukan, kritik, dan sarang untuk setiap cerita yang sedang aku kerjakan. Aku sendiri senang dengan hal ini. Hitung-hitung jadi pengamat setiap cerita yang aku kerjakan sebelum aku kirimkan ke koran atau majalah untuk diterbitkan.
“Ya, hampir,” jawabku, “Hanya masih bingung untuk menyelesaikan ceritanya, Pak.”
“Lho, kan sudah pernah saya bilang, penyelesaiannya, sebelum sertifikat itu selesai diurus, tiba-tiba saja dua buah mesin buldozer datang dan mengeruk tanah-tanah itu. Begitu saja!”
Aku terkejut mendengar kata-kata Pak Sastro. Kenapa aku jadi lupa, padahal beberapa hari yang lalu dia pernah mengungkapkan hal itu kepadaku di warung ini juga.
“Iya, betul!” sahutku, kegirangan, memperoleh ide bagus untuk ending cerita yang sedang aku kerjakan dan ini berhenti di jalan. “Kalau begitu, aku pamit duluan, aku mau menyelesaikannya sekarang.”
Setelah keluar dari warung bubur Mang Sidik, aku langsung memutuskan, besok pagi aku harus segera pulang memenuhi janjiku kepada Ayah. Aku khawatir jangan-jangan cerita di dalam cerpenku akan terjadi atas keluargaku dan tetangga-tetanggaku, serta saudara-saudaraku di desa.
***
Depok, 7 Oktober 1991
dimuat di HU Jayakarta, 23 Oktober 1991