oleh : ahmad suyudi
Ketika sakitku semakin menjadi,
hampir-hampir seharian aku tak ingat apa pun dan tak mengetahui apa pun yang
terjadi baik dalam diriku maupun keadaan di sekitarku. Malam itu aku tak mampu
lagi menahan rasa haus yang benar-benar menyiksa diriku. Sebagai tuna netra
tentu aku tidak melihat apa pun di sekitarku. Kurasa waktu itu sudah mendekati
suasana tengah malam atau barangkali sudah lewat tengah malam. Aku tak ingin
mengganggu tidur ibuku yang sudah tua renta itu. Kupaksakan aku berupaya sekuat
tenaga bangkit dari tidurku. Tujuanku ingin mengambil air minum di dapur.
Sempoyongan dan agak limbung kurasakan tubuhku ketika melangkah menuju ke
dapur. Dan kunang-kunang kulihat mengepung di sekitar mataku yang buta. Aku tak
mampu lagi menahan rasa yang mendera sekujur tubuhku yang sakit. Panas dan
dingin sejak sore tadi silih berganti tak karuan kurasakan. Ketika langkahku memasuki
pintu dapur tiba-tiba kurasakan kakiku terjerat seutas tali. Maka seketika itu
pula aku terjatuh dan…
Dalam sekejap aku tak sadarkan diri.
Namun, hanya dalam waktu setarikan nafas, sebuah keanehan tengah kualami dalam
hidupku. Ya, keanehan yang baru kali ini saja aku alami seumur hidupku. Betapa
saat itu aku tersentak keheranan menyaksikan tubuhku sendiri yang terkapar
melintang di tengah pintu dapur. Tubuhku telah mati. Subhanallah! Demi Allah,
baru pertama kali ini aku menyaksikan bentuk tubuhku sendiri. Laksana orang
yang melek dan tidak buta aku melihat tubuh itu tergeletak lemas. Aku menangis.
Aku keheranan. Aku takjub dan seakan tak percaya dengan pandangan mataku
sendiri. Dan seutas tali itu yang menjerat kakiku, juga baru pertama kali aku pernah
melihatnya.
Namun belum sempat lenyap rasa heran yang
kualami, mendadak aku dikejutkan oleh sebuah suara lembut mengucap ‘uluk’ salam
kepadaku. Dan bersamaan dengan itu tiba-tiba suasana di rumahku berubah warna.
Terang benderang oleh cahaya lembut, yang sekali lagi, belum pernah aku
menyaksikan sebelumnya. Ketika aku menoleh, sesosok bayangan lelaki bertubuh
tinggi semampai dengan pakaian jubah putih telah berdiri di belakangku. Aku
terkesimak. Sekilas saja kulihat senyumnya yang lembut dan benar-benar menawan
lelaki tampan itu.
Oleh karena rasa heran dan terkejutku aku
tak mampu menyahut ‘uluk’ salamnya Mulutku kelu, meski hatiku berusaha
mengucapkan salam membalasnya.
“Aku menjemputmu…,” kata lelaki itu penuh
santun.
Aku tersentak.
“Ya.. sudah saatnya sekarang,” lanjut
lelaki tampan yang wajahnya bercahaya. Dia mengangguk dan tersenyum lembut
kepadaku. Dia seolah tak mempedulikan keheranan dan rasa terkejutku.
Sekali lagi, aku tak mampu menjawabnya.
Mulutku kelu. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku menoleh ke arah sesosok tubuh
tergeletak lemas melintang di pintu dapur yang adalah badan wadag-ku sendiri.
Hatiku menangis menyaksikannya. Aku jadi memelas melihatnya. Aku tak mampu
berkata-kata. Tapi aku juga tak mampu menolaknya. Aku pasrah saat lelaki tampan
itu dengan lembut dan penuh sopan santun membuka pintu depan rumahku. Terlihat
di pelataran depan suasana yang terang benderang namun sepi dan sunyi. Suasana
‘sonya ruri seperti dalam alam impian. Tak ada angin tak ada suara dan tak ada
sosok apa pun. Saat itulah sebuah kereta kencana melayang turun persis di depan
rumahku. Dan lelaki tampan itu dengan senyum lembut penuh hormat dan lagi penuh
sopan santun mempersilakan diriku menaiki kereta kencana yang menjemputku.
Ketika dilihatnya diriku tampak ragu, dia
bertanya:
“Tunggu apa lagi?”
Saat itu aku teringat akan Ibu. Tiba-tiba
aku merasa tak tega meninggalkan Ibuku yang saat ini sudah renta dan tak mampu
apa-apa. Seluruh kebutuhannya akulah yang membantunya. Aku tak tega
meninggalkannya, kataku kepada lelaki tampan itu.
Lelaki tampan itu tersenyum. “Baik,”
katanya.
Saat itu juga tanpa kusadari dan tak
kuketahui, tiba-tiba dalam sekejap diriku melesat bagaikan cahaya menuju ke
dalam badan wadag-ku.
Aku kembali merasakan haus di
tenggorokanku. Rasa sakit juga di kaki dan tubuhku akibat jatuh terserimpat
tali tadi. Kudengar suara tongkat ibuku yang melangkah menuju ke arahku.