Jumat, 10 Maret 2017

MENJENGUK KEMATIAN

oleh : ahmad suyudi


Ketika sakitku semakin menjadi, hampir-hampir seharian aku tak ingat apa pun dan tak mengetahui apa pun yang terjadi baik dalam diriku maupun keadaan di sekitarku. Malam itu aku tak mampu lagi menahan rasa haus yang benar-benar menyiksa diriku. Sebagai tuna netra tentu aku tidak melihat apa pun di sekitarku. Kurasa waktu itu sudah mendekati suasana tengah malam atau barangkali sudah lewat tengah malam. Aku tak ingin mengganggu tidur ibuku yang sudah tua renta itu. Kupaksakan aku berupaya sekuat tenaga bangkit dari tidurku. Tujuanku ingin mengambil air minum di dapur. Sempoyongan dan agak limbung kurasakan tubuhku ketika melangkah menuju ke dapur. Dan kunang-kunang kulihat mengepung di sekitar mataku yang buta. Aku tak mampu lagi menahan rasa yang mendera sekujur tubuhku yang sakit. Panas dan dingin sejak sore tadi silih berganti tak karuan kurasakan. Ketika langkahku memasuki pintu dapur tiba-tiba kurasakan kakiku terjerat seutas tali. Maka seketika itu pula aku terjatuh dan…

Dalam sekejap aku tak sadarkan diri. Namun, hanya dalam waktu setarikan nafas, sebuah keanehan tengah kualami dalam hidupku. Ya, keanehan yang baru kali ini saja aku alami seumur hidupku. Betapa saat itu aku tersentak keheranan menyaksikan tubuhku sendiri yang terkapar melintang di tengah pintu dapur. Tubuhku telah mati. Subhanallah! Demi Allah, baru pertama kali ini aku menyaksikan bentuk tubuhku sendiri. Laksana orang yang melek dan tidak buta aku melihat tubuh itu tergeletak lemas. Aku menangis. Aku keheranan. Aku takjub dan seakan tak percaya dengan pandangan mataku sendiri. Dan seutas tali itu yang menjerat kakiku, juga baru pertama kali aku pernah melihatnya.

Namun belum sempat lenyap rasa heran yang kualami, mendadak aku dikejutkan oleh sebuah suara lembut mengucap ‘uluk’ salam kepadaku. Dan bersamaan dengan itu tiba-tiba suasana di rumahku berubah warna. Terang benderang oleh cahaya lembut, yang sekali lagi, belum pernah aku menyaksikan sebelumnya. Ketika aku menoleh, sesosok bayangan lelaki bertubuh tinggi semampai dengan pakaian jubah putih telah berdiri di belakangku. Aku terkesimak. Sekilas saja kulihat senyumnya yang lembut dan benar-benar menawan lelaki tampan itu.

Oleh karena rasa heran dan terkejutku aku tak mampu menyahut ‘uluk’ salamnya Mulutku kelu, meski hatiku berusaha mengucapkan salam membalasnya.
“Aku menjemputmu…,” kata lelaki itu penuh santun.
Aku tersentak.

“Ya.. sudah saatnya sekarang,” lanjut lelaki tampan yang wajahnya bercahaya. Dia mengangguk dan tersenyum lembut kepadaku. Dia seolah tak mempedulikan keheranan dan rasa terkejutku.

Sekali lagi, aku tak mampu menjawabnya. Mulutku kelu. Tubuhku menggigil kedinginan. Aku menoleh ke arah sesosok tubuh tergeletak lemas melintang di pintu dapur yang adalah badan wadag-ku sendiri. Hatiku menangis menyaksikannya. Aku jadi memelas melihatnya. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi aku juga tak mampu menolaknya. Aku pasrah saat lelaki tampan itu dengan lembut dan penuh sopan santun membuka pintu depan rumahku. Terlihat di pelataran depan suasana yang terang benderang namun sepi dan sunyi. Suasana ‘sonya ruri seperti dalam alam impian. Tak ada angin tak ada suara dan tak ada sosok apa pun. Saat itulah sebuah kereta kencana melayang turun persis di depan rumahku. Dan lelaki tampan itu dengan senyum lembut penuh hormat dan lagi penuh sopan santun mempersilakan diriku menaiki kereta kencana yang menjemputku.

Ketika dilihatnya diriku tampak ragu, dia bertanya:
“Tunggu apa lagi?”

Saat itu aku teringat akan Ibu. Tiba-tiba aku merasa tak tega meninggalkan Ibuku yang saat ini sudah renta dan tak mampu apa-apa. Seluruh kebutuhannya akulah yang membantunya. Aku tak tega meninggalkannya, kataku kepada lelaki tampan itu.

Lelaki tampan itu tersenyum. “Baik,” katanya.

Saat itu juga tanpa kusadari dan tak kuketahui, tiba-tiba dalam sekejap diriku melesat bagaikan cahaya menuju ke dalam badan wadag-ku.


Aku kembali merasakan haus di tenggorokanku. Rasa sakit juga di kaki dan tubuhku akibat jatuh terserimpat tali tadi. Kudengar suara tongkat ibuku yang melangkah menuju ke arahku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar